Promedianusantara.com – Menteri Keuangan (Menkeu), Purbaya Yudhi Sadewa mendapatkan pesan khusus dari ekonom global sekaligus Chairman Rockefeller Internasional, Ruchir Sharma.

Menurut Sharma, ekonomi RI mempunyai peluang tumbuh lebih tinggi asalkan memberikan kebebasan sektor swasta dan tidak terjebak belanja sosial berlebihan.

Mulanya, pengamat ekonomi, Rhenald Kasali menyoroti pergantian Menkeu dari Sri Mulyani ke Purbaya dalam reshuffle Kabinet Merah Putih yang diumumkan Presiden Prabowo Subianto pada Senin, 8 September 2025.

Perihal itu, Rhenald menilai, Purbaya muncul dengan gaya terlalu percaya diri saat menuturkan saat berbicara mengenai ekonomi RI di hadapan publik.

“(Purbaya) ketika muncul langsung ‘koboy’ nih, langsung mengatakan jago ekonomi. Benarkah dia jago? Kita akan lihat nanti,” ujar Rhenald.

Rhenald lalu mengingatkan, tantangan ekonomi global saat ini sebenarnya tidak ringan dan perlu stategi yang matang dalam menentukan langkah ekonomi negara, termasuk di Indonesia.

“Tantangan global ini memang tidak mudah, penuh dengan cobaan. Apalagi ekor pandemi Covid-19 masih terasa sampai sekarang,” tambahnya.

Menurut Rhenald, Indonesia sebenarnya membutuhkan Menkeu yang jujur dan independen agar langkah strategis ekonomi dapat tercapai dengan maksimal.

“Yang kita butuhkan bukan hanya orang pinter, tapi orang yang jujur. Bisa mengatakan apa adanya kepada atasannya dan masyarakat,” tegasnya.

“Independen itu kunci, agar tidak terbebani dengan beban politik,” imbuh Rhenald.

Dalam kesempatan yang sama, Rhenald mengungkap percakapannya dengan Chairman Rockefeller Internasional, Ruchir Sharma mengenai prospek ekonomi Indonesia.

Nama Sharma dikenal luas di dunia sebagai investor sekaligus penulis buku terkenal bertajuk “Breakout Nations” (2012). Begini katanya:

Kebangkitan RI Pasca-Krisis Ekonomi

Rhenald menanyakan pandangan Sharma tentang target pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen per tahun bagi Indonesia.

Sharma menjawab dengan menyinggung pengalamannya sejak pertama kali datang ke Indonesia pada 1997, saat krisis finansial Asia.

“Saya menyaksikan saat-saat terakhir Soeharto, kerusuhan di Jakarta, dan juga bagaimana Indonesia bangkit. Dekade 2000-an menurut saya adalah masa ketika Indonesia benar-benar bersinar,” ujar Sharma.

Menurutnya, kesuksesan Indonesia kala itu ditopang oleh ledakan komoditas dan reformasi perbankan pasca-krisis.

“Ketika saya menulis Breakout Nations pada 2012, saya cukup yakin dengan prospek Indonesia. Kebijakan fiskalnya saat itu menarik investasi asing, sementara konsumsi domestik juga kuat,” jelas Sharma.

Meski begitu, Sharma menilai pertumbuhan ekonomi 5 persen yang selama ini dicapai Indonesia sudah tergolong baik.

“Pertumbuhan 5 persen itu target yang bagus, tidak bisa dianggap kecil,” ungkapnya.

Belajar dari China: Ruang Besar ke Sektor Swasta

Sharma memberikan pesan khusus untuk pemerintah Indonesia, terkhusus kepada Menkeu Purbaya untuk memberi ruang besar pada sektor swasta, seperti yang dilakukan Tiongkok atau China di masa awal kebangkitan ekonominya.

“China memberi rakyatnya banyak kebebasan untuk masuk ke berbagai bidang ekonomi, terutama sektor swasta. Dari situlah kekuatan ekonominya tumbuh,” terang Sharma.

Sharma menambahkan, pada tahap pembangunan seperti Indonesia saat ini, China memilih tidak banyak mengeluarkan anggaran untuk bantuan sosial.

“Mereka fokus pada investasi infrastruktur, karena itu yang menciptakan pertumbuhan masa depan,” ujarnya.

Chairman Rockefeller itu lantas mengingatkan agar Indonesia tidak terjebak pada pola negara-negara Amerika Latin yang terlalu banyak menghabiskan anggaran untuk belanja sosial.

“Ini hal yang perlu diperhatikan bagi Indonesia,” tukas Sharma.***